Minggu, 04 April 2010

Orientalisme dan Kajian Islam: Dari Zaman Perang Salib Hingga Era Benturan Peradaban

Oleh: Ahmad Baidlowi, Ahmad Muttaqin, Sofia Rosdanila Andri, dan Faizah Auia Nurdin

A. Pendahuluan
Di Barat memang sudah lama muncul para ilmuwan yang memberikan perhatian terhadap Islam. Mereka ini disebut Kaum Orientalis. Diantara mereka (orang-orang Barat yang mendalami Islam itu) ada yang dengan jujur menunjukkkan kebenaran Islam, tetapi tidak sedikit diantara mereka yang karena fanatik dan dendam akibat perang Salib, berusaha mencari-cari kelemahan dan keburukan dalam Islam untuk mengaburkan dan merusak akidah kaum Muslimin.

B. Perang Salib
Tahun 986 M, Daulah Fathimiah (909-1171 M) terbentuk di Tunisia, dan menguasai wilayah Mesir dari tangan Daulah Abbasiyah. Selanjutnya Daulah Fathimiah menguasai Palestina dan Syria. Sementara itu Yerussalem dikuasai Umat Islam tahun 636 M, tetap merupakan kota suci bagi tiga agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang selalu berziarah ke kota tersebut.
Sejak kota Yerussalem berada di bawah kekuasaan Daulah Fathimiah berlaku tekanan terhadap orang-orang Kristen yang berziarah. Kasus itulah yang dijadikan pembangkit dendam lama yang oleh Paus Urbanus II Vatikan (1088-1099 M), dijadikan pembakar kemarahan orang-orang dan raja-raja Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci (Holy War) untuk merebut Yerussalem dari tangan Muslimin. Itulah yang dimaksud dengan “Perang Salib” yang berlangsung selama dua abad dan penyerbuan delapan kali angkatan salib. Pasca Perang Salib inilah maraknya orientalisme.
Untuk mengetahui latar belakang sejarah timbulnya orientalisme di Barat yang mayoritasnya pemeluk agama Masehi, kita harus mengenal lebih dahulu sikap Barat terhadap Islam pada abad pertengahan dan era kebangkitan (Renaissance).
Sikap orang Barat terhadap Islam pada abad petengahan adalah sikap orang yang kagum bercampur perasaan hormat dan segan terhadap kekauatan Islam serta peradabannya. Perasaan takut menyelubungi mereka sepanjang abad pertengahan itu. Mereka menganggap Islam sebagai bahaya hakiki bagi Eropa, baik akidah, peradaban, serta kekuatan militer.
Sejak awal abad I Hijriah, kekuatan Islam benar-benar telah mencapai kesempurnaan dan menyeluruh, meliputi kekuatan politik, militer, pendidikan, kebudayaan, dan kerohanian. Keadaan itu masih terus berkembang hingga abad III Hijriah, umat Islam telah menaklukkan berbagai Negeri-Negeri tadi yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium Romawi pemeluk Masehi. Antara lain Syam (Syria), Mesir, Maghrib (Maroko), Spanyol, dan sebagian wilayah Prancis.
Penaklukan itu tidak hanya berupa penaklukan militer, tetapi meliputi pula penaklukan akidah dan peradaban. Hal ini terbukti dengan banyaknya kaum Masehi yang memeluk Islam, yang dirasakan kaum Masehi banyak kehilangan penganut berpindah memeluk agama Islam, khususnya di wilayah Imperium Romawi.
Bangsa Eropa menyaksikan perkembangan Islam ini, sementara mereka masih dalam keadaan bodoh dan terbelakang. Bahkan disebutkan oleh sejarawan Eropa, Gibbon: “masa itu merupakan masa yang paling buruk yang dialami bangsa Eropa sepanjang sejarahnya.”
Rasa takut terhadap Islam karena ketidaktahuan dan rasa dengki yang telah menyelimuti bangsa Eropa di abad pertengahan, sehingga terbentuklah gambaran yang tidak baik tentang Islam dalam benak mereka. Keadaan it terus berkesinambungan hingga dewasa ini. Bahkan penggambaran itu jauh lebih menyeramkan, dan dijadikan sebagai senjata kaum orientalis lebih memacu gerakannya, yang dibantu oleh media masa Barat hingga kini.
Gambaran yang salah ini sebagai tonggak awal munculnya gerakan orientalisme. Para orientalis bahu-membahu menyimpangkan bentuk Islam dari potret yang sebenarnya, baik langsung ataupun tidak. Hal ini digambarkan oleh seorang orientalis Montgomery Watt mengatakan: “Sesungguhnya ajaran akidah Islam terdiri atas bentuk penyimpangan dari ajaran Kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui perang. Agama Islam mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual. Dalam pribadi Muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlak (maksudnya dalam mengahadapi kaum wanita dimana beliau banyak menikahi kaum wanita). Berarti Muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Oleh karena itu, hendaklah dijadikan prinsip bahwa Muhammad merupakan senjata atau tangan kanannya setan. Bahkan bangsa Eropa pemeluk Masehi pada abad pertengahan menamakannya setan.”

C. Motivasi Orientalis Mengkaji Islam
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, latar belakang sejarahnya panjang dan kompleks.
1. Motif Keagamaan, Barat yang di satu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah makanya Islam dianggap sebagai “menabur angin” dan lalu “menuai badai” perseteruan dengan Kristen.
Perang Salib telah telah memberikan bekas kepahitan yang sangat mendalam pada orang-orang Eropa. Dari sini timbullah gerakan reformasi Kristen, sehingga umat Kristen merasakan suatu kebutuhan mendesak untuk melihat kembali mekihat penafsiran mereka terhadap al-Kitab; dan untuk memahaminya sesuai dengan perkembangan baru yamg dilancarkan oleh kaum reformis. Tujuan mereka (kaum orientalis) mempelajari Islam bukan untuk dijadikan pedoman hidup, melainkan untuk diketahui kelemahan-kelemahan yang nantinya diharapkan dijadikan dasar dalam rangka kegiatan kristenisasi.
2. Motivasi Imperial, Perang Salib berakhir dengan kekalahan beruntun angkatan-angkatan Salib yang sangat menyakitkan umat Kristen (tampaknya perang religi, namun hakikatnya adalah perang imperial). Walaupun berada di pihak yang kalah, justru orang-orang Barat berusaha keras untuk menguasai Negara-Negara Islam. Untuk itulah mereka lebih tekun mempelajari Islam dan umatnya, baik di bidang akidah, tradisi, akhlak, serta kekayaannya. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui titik-titik kekuatan untuk kemudian dilemahkan, serta titik-titik kelemahannya untuk dihancurkan.
3. Motivasi Ekonomi dan Perdagangan, diantara motivasi barat mengkaji Islam ( dunia Timur) adalah dalam rangka menerobos pasar perdagangan di dunia Timur. Mereka bekerjasama dengan dunia Timur untuk membuka pasar-pasar, menggali sumber-sumber alam, pertambangan, dan lain-lain. Mereka kemudian mendirikan pabrik-pabrik di wilayah Timur, tetapi belakangan mereka berusaha membunuh/mematikan kegiatan produksi dan lalu lintas perdagangan yang dikuasai oleh orang-orang Timur (Islam), sehingga lambat laun usaha-usaha yang dimiliki oleh orang-orang Timur mengalami kemunduran, dan sebaliknya milik orang-orang Barat (orientalis dan imperialis) yang mengalami kemajuan pesat.
4. Motivasi Politis, motiasi seperti ini semakin jelas warnanya di abad modern ini, terutama setelah mereka berhasil menguasai sebagian besar Negara-Negara Islam. Di setiap kedutaan (perwakilan diplomatik) Negara-Negara Barat di dunia Islam selalu terdapat atau ditempatkan pakar kebudayaan yang menguasai bahasa Arab, sehingga dengan mudah menghubungi para cendikiawan, politikus, dan para wartawan untuk lebih memahami pemahaman yang berkembang, selain untuk memperkanalkan dan menanamkan strategi politis yang dikehendaki dunia Barat.
5. Motivasi Ilmiah, peradaban Islam pernah mencapai puncak kemajuan di dua kota besar Islam, yaitu di Baghdad dan Andalusia, dari kedua kota besar inilah kemudian berpengaruh pada kota-kota di sekitarnya. Pada masa jaya-jayanya tersebut, banyaklah bangsa Eropa yang berduyun-duyun menuntut ilmu di sekolah Islam. Mereka melihat kemajuan dan perkembangan peradaban dunia Islam.
Persinggungan antara Eropa dan Timur yang memiliki berbagai macam kultur menarik perhatian orientalis untuk mengkajinya. Adat istiadat yang berbeda dengan dengan yang selama ini mereka kenal (bahasa, tradisi, kepercayaan, dan lain-lain), semakin menarik mereka untuk mengkajinya. Dari persinggungan ini akhirnya sampai kepada Islam yang pada gilirannya mengalami akulturasi dengan budaya setempat di samping budaya pendatang (Barat). Akulturasi ini sengaja dikehendaki Barat dalam kerangka untuk membunuh peradaban lokal (Islam), mengontrol kebudayaan lain serta membangun image bahwa Barat adalah satu-satunya contoh kemajuan peradaban.

5 komentar:

  1. Sejak awal abad I Hijriah, kekuatan Islam benar-benar telah mencapai kesempurnaan dan menyeluruh, meliputi kekuatan politik, militer, pendidikan, kebudayaan, dan kerohanian. Keadaan itu masih terus berkembang hingga abad III Hijriah, umat Islam telah menaklukkan berbagai Negeri-Negeri tadi yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium Romawi pemeluk Masehi. Antara lain Syam (Syria), Mesir, Maghrib (Maroko), Spanyol, dan sebagian wilayah Prancis.
    Penaklukan itu tidak hanya berupa penaklukan militer, tetapi meliputi pula penaklukan akidah dan peradaban. Hal ini terbukti dengan banyaknya kaum Masehi yang memeluk Islam, yang dirasakan kaum Masehi banyak kehilangan penganut berpindah memeluk agama Islam, khususnya di wilayah Imperium Romawi.
    Bangsa Eropa menyaksikan perkembangan Islam ini, sementara mereka masih dalam keadaan bodoh dan terbelakang. Bahkan disebutkan oleh sejarawan Eropa, Gibbon: “masa itu merupakan masa yang paling buruk yang dialami bangsa Eropa sepanjang sejarahnya.”
    Rasa takut terhadap Islam karena ketidaktahuan dan rasa dengki yang telah menyelimuti bangsa Eropa di abad pertengahan, sehingga terbentuklah gambaran yang tidak baik tentang Islam dalam benak mereka. Keadaan it terus berkesinambungan hingga dewasa ini. Bahkan penggambaran itu jauh lebih menyeramkan, dan dijadikan sebagai senjata kaum orientalis lebih memacu gerakannya, yang dibantu oleh media masa Barat hingga kini.
    adapun motifasi orientalis mengkaji islam adalah:1.Motif Keagamaan, adalah Barat yang di satu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinya.
    2.Motivasi Imperial, yaitu Perang Salib berakhir dengan kekalahan beruntun angkatan-angkatan Salib yang sangat menyakitkan umat Kristen (tampaknya perang religi, namun hakikatnya adalah perang imperial). Walaupun berada di pihak yang kalah, justru orang-orang Barat berusaha keras untuk menguasai Negara-Negara Islam. Untuk itulah mereka lebih tekun mempelajari Islam dan umatnya, baik di bidang akidah, tradisi, akhlak, serta kekayaannya. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui titik-titik kekuatan untuk kemudian dilemahkan, serta titik-titik kelemahannya untuk dihancurkan.
    3.Motivasi Ekonomi dan Perdagangan
    4. Motivasi Politis
    5. Motivasi Ilmiah
    begitulah masa-masa peradaban perang saling dari zaman perang salib hingga pra perang salib,dimana setelah terjadinya perang salib,banyak sekali perubahan-perubahan yang signifikan baik dari segi keagamaan,budaya,maupun hal-hal yang menyangkut dengan maslah perekonomian ,karya-karya ilmiah dan masih banyak lagi.

    BalasHapus
  2. Di Barat memang sudah lama muncul para ilmuwan yang memberikan perhatian terhadap Islam. Mereka ini disebut Kaum Orientalis. Perang Salib
    Tahun 986 M, Daulah Fathimiah (909-1171 M) terbentuk di Tunisia, dan menguasai wilayah Mesir dari tangan Daulah Abbasiyah. Selanjutnya Daulah Fathimiah menguasai Palestina dan Syria. Sementara itu Yerussalem dikuasai Umat Islam tahun 636 M, tetap merupakan kota suci bagi tiga agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang selalu berziarah ke kota tersebut.
    Sejak kota Yerussalem berada di bawah kekuasaan Daulah Fathimiah berlaku tekanan terhadap orang-orang Kristen yang berziarah. Kasus itulah yang dijadikan pembangkit dendam lama yang oleh Paus Urbanus II Vatikan (1088-1099 M), dijadikan pembakar kemarahan orang-orang dan raja-raja Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci (Holy War) untuk merebut Yerussalem dari tangan Muslimin. Itulah yang dimaksud dengan “Perang Salib” yang berlangsung selama dua abad dan penyerbuan delapan kali angkatan salib. Pasca Perang Salib inilah maraknya orientalisme.
    Untuk mengetahui latar belakang sejarah timbulnya orientalisme di Barat yang mayoritasnya pemeluk agama Masehi, kita harus mengenal lebih dahulu sikap Barat terhadap Islam pada abad pertengahan dan era kebangkitan (Renaissance).Sikap orang Barat terhadap Islam pada abad petengahan adalah Sejak awal abad I Hijriah, kekuatan Islam benar-benar telah mencapai kesempurnaan dan menyeluruh, meliputi kekuatan politik, militer, pendidikan, kebudayaan, dan kerohanian. Keadaan itu masih terus berkembang hingga abad III Hijriah, umat Islam telah menaklukkan berbagai Negeri-Negeri tadi yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium Romawi pemeluk Masehi. Antara lain Syam (Syria), Mesir, Maghrib (Maroko), Spanyol, dan sebagian wilayah Prancis.Bangsa Eropa menyaksikan perkembangan Islam ini, sementara mereka masih dalam keadaan bodoh dan terbelakang. Bahkan disebutkan oleh sejarawan Eropa, Gibbon: “masa itu merupakan masa yang paling buruk yang dialami bangsa Eropa sepanjang sejarahnya.” Rasa takut terhadap Islam karena ketidaktahuan dan rasa dengki yang telah menyelimuti bangsa Eropa di abad pertengahan, sehingga terbentuklah gambaran yang tidak baik tentang Islam dalam benak mereka.Para orientalis bahu-membahu menyimpangkan bentuk Islam dari potret yang sebenarnya, baik langsung ataupun tidak. Hal ini digambarkan oleh seorang orientalis Montgomery Watt mengatakan: “Sesungguhnya ajaran akidah Islam terdiri atas bentuk penyimpangan dari ajaran Kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui perang. Agama Islam mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual. Dalam pribadi Muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlak (maksudnya dalam mengahadapi kaum wanita dimana beliau banyak menikahi kaum wanita). Berarti Muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Oleh karena itu, hendaklah dijadikan prinsip bahwa Muhammad merupakan senjata atau tangan kanannya setan. Bahkan bangsa Eropa pemeluk Masehi pada abad pertengahan menamakannya setan.”

    BalasHapus
  3. nama:neneng komalawati
    nim:106034001247

    orientalisme:historis dan metodologis
    A.Historis.
    Menurut Goldzhiher, dari sekian banyak hadis yang ada, sebagian besarnya untuk tidak mengatakan seluruhnya tidak dapat dijamin keasliannya atau palsu. Dan karena itu, ia (hadis) tidak dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai sejarahawal Islam. Menurutnya (Goldzhiher) hadis merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian dikalangan masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.
    Setelah Goldzhiher, muncul David Samuel Margollioth yang turut meragukan otentisitas hadis. Terinspirasi oleh pandangan Goldzhiher, ia mengatakan bahwa hadis adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad saw wafat, dan ia (hadis) bukan berasal dan tidak asli dari beliau. Hal ini menurutnya di samping lemahnya ingatan para perawi hadis , tidak diketemukannya bukti yang menunjukkan bahwa hadis telah dicatat sejak zaman Nabi adalah factor yang menyebabkan hal itu terjadi. Diantara yang turut mengamini pendapat Goldzhiher adalah Alfred Guillaume. Orientalis asal Inggris ini, dalam bukunya mengenai sejarah hadis- seperti yang dikutip oleh Syamsuddin Arif - mengatakan bahwa sangat sulit untuk mempercayai literature hadis secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan nabi Muhammad saw.
    Spekuiasi Goldzhiher dan murid-muridnya di atas, kemudian ditelan dan diolah lagi oleh seorang orientalis Yahudi asal Jerman, Joseph Schacht. Seperti para pendahulunya, dia mengklaim bahwa tidak ada hadis yang benar-benar asli dari nabi, dan kalaupun ada dan bias dibuktikan, maka jumlahnya sangat sedikit. Di samping itu, ia juga mengkalim bahwa hadis baru muncul pada abad kedua hijriah dan baru beredar luas setelah zaman Imam Syafii (w.204 H/820 M). Dalam masalah Isnad, Schact menyatakan bahwa ia (isnad) merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai diparktekkan pada abad kedua hijriah.
    B.Metodologis.
    Kajian orientalis terhadap hadis merupakan salah satu kajian yang termasuk dalam ranah keagamaan. Oleh sebab itu, untuk memahami hadis atau hal-hal yang terkait dengan aspek keagamaan, pada dasarnya, menurut Badarus Syamsi, terdapat lima pendekatan dalam memahami agama, yaitu: Pendekatan antropologis, pendekatan fenomenologis, pendekatan filosofis, pendekatan sosiologis, dan pendekatan teologis.
    Dalam memahami agama dengan menggunakan pendekatan teologis, Frank Whaling seperti yang dikutip oleh Syamsi, mengatakan setidaknya terdapat tujuh karakter dan kerangka kerja, yaitu ekslusifisme, diskontinuitas, sekularisasi dan spiritualisasi, penyempurnaan, universalisasi, dialog, dan relativisme.
    Seperti yang telah disinggung sebelumnya, dalam mengkaji Islam para orientalis tidak selamanya bermaksud “menghina” ajaran Islam tetapi sebagian dari mereka – khususnya di masa-masa sekarang- secara tidak langsung “memuliakan” ajaran Islam. Hal ini diantaranya terlihat dari besarnya kontribusi mereka terhadap kemajuan peradaban Islam, khususnya dibidang ilmu pengetahuan.
    Berdasarkan hal ini, - menurut penulis - metode yang digunakan para orientalis dalam mengkaji hadis secara umum terbagi dalam dua kategori, yaitu metodologi yang bersifat subjektif dan metodologi yang bersifat objektif.
    Metodologi subjektif adalah metode-metode penelitian yang digunakan oleh para orientalis untuk mengkaji hadis yang kesimpulannya diarahkan untuk memenuhi keinginan mereka (subjek). Konsekuensi dari hal ini adalah seringkali terjadinya pengabaian fakta dan data-data historis dalam mengkaji suatu objek, dengan tujuan untuk membenarkan asumsi awal mereka telah ada sebelum penelitian tersebut dilakukan.Sedangkan metodologi objektif adalah metode-metode penelitian yang digunakan oleh para orientalis untuk mengkaji hadis yang kesimpulannya sesuai dengan fakta dan data yang ada yang tidak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi subjektif sehingga akan menghasilkan suatu penelitian yang objektif.

    BalasHapus
  4. ORIENTALIS: PEWAHYUAN
    Belum lama ini akidah umat Islam diserang lagi. Kali ini sasarannya, lagi-lagi kitab suci Al-Qur'an.Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, orang Yahudi dan Kristen memang tak akan pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi umat Islam agar mengikuti langkah mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan; menggugat, mempersoalkan ataupun mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sah dan benar.Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggeris, mengumumkan bahwa :"Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur'an sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani, Seruan semacam ini dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendikiawan Kristen sudah lama meragukan autentisitas Bibel. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias 'aspal'. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan.Kemudian datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksikan sejarah Al-Qur'an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal. Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin merekonstruksi al-Mushaf al-Uthmani dan membuat mushaf baru.Maka yang digembar-gemborkan adalah isu naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi Shi'ah, isu 'Ghanaariq' dan lain sebagainya. Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah Al-Qur'an secara kronologis, mau 'mengkoreksi' bahasa Al-Qur'an ataupun ingin mengubah redaksi ayat-ayat tertentu. Kajian Orientalis terhadap Al-Qur'an tidak sebatas mempersoalkan autentisitasnya.Sikap anti Islam tersebut tersimpul dalam pernyataan 'miring' seorang Orientalis Inggeris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson:"Muhammad picked up all his knowledge of this kind by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisiting of legends from the Haggada and Apocrypha". Namun ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur'an, apalagi sampai membuat mereka murtad.Pada awal pembahasan buku ini kita pernah membahas adanya kesinambungan wahyu sejak Nabi-nabi terdahulu hingga yang terakhir. Proses pewahyuan al-Qur'an seperti di atas adalah salah satu tingkatan pewahyuan. Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun, bukan diturunkan satu kitab secara langsung. Prosesnya pun berbeda-beda dari tingkat yang terendah hingga yang tertinggi yaitu pertemuan dengan Pencipta, seperti yang dialami Nabi Muhammad ketika Isra' mi'raj dan mendapat perintah shalat, juga Nabi Musa yang disebut al-Qur'an sebagai Nabi yang kepadanya Allah berbicara.
    Proses pewahyuan yang secara bertahap inilah yang dipahami salah oleh Dr. Robert Morey dan dijadikan alasan bahwa ada kontradiksi dalam masalah pewahyuan.14 Sebab umat Kristen secara umum tidak memiliki pandangan yang tepat masalah pewahyuan. Seperti pewahyuan Nabi Musa misalnya Selalu digambarkan satu buku turun dari langit, apalagi pewahyuan Nabi Isa As. jelas sulit mereka jelaskan karena Nabi Isa sendiri mereka lantik menjadi 'tuhan', karena itu mereka Sering menggunakan bahasa kiasan burung merpati yang mungkin sering kita lihat di gambar-gambar Yesus. Kalangan Kristen yang mengerti tentu saja enggan menjelaskan burung merpati tersebut, tapi yang tidak tahu ditelan mentah-mentah karena disajikan dengan gambar yang indah.

    BalasHapus