Minggu, 04 April 2010

Orientalisme dan Kajian Islam: Dari Zaman Perang Salib Hingga Era Benturan Peradaban

Oleh: Ahmad Baidlowi, Ahmad Muttaqin, Sofia Rosdanila Andri, dan Faizah Auia Nurdin

A. Pendahuluan
Di Barat memang sudah lama muncul para ilmuwan yang memberikan perhatian terhadap Islam. Mereka ini disebut Kaum Orientalis. Diantara mereka (orang-orang Barat yang mendalami Islam itu) ada yang dengan jujur menunjukkkan kebenaran Islam, tetapi tidak sedikit diantara mereka yang karena fanatik dan dendam akibat perang Salib, berusaha mencari-cari kelemahan dan keburukan dalam Islam untuk mengaburkan dan merusak akidah kaum Muslimin.

B. Perang Salib
Tahun 986 M, Daulah Fathimiah (909-1171 M) terbentuk di Tunisia, dan menguasai wilayah Mesir dari tangan Daulah Abbasiyah. Selanjutnya Daulah Fathimiah menguasai Palestina dan Syria. Sementara itu Yerussalem dikuasai Umat Islam tahun 636 M, tetap merupakan kota suci bagi tiga agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang selalu berziarah ke kota tersebut.
Sejak kota Yerussalem berada di bawah kekuasaan Daulah Fathimiah berlaku tekanan terhadap orang-orang Kristen yang berziarah. Kasus itulah yang dijadikan pembangkit dendam lama yang oleh Paus Urbanus II Vatikan (1088-1099 M), dijadikan pembakar kemarahan orang-orang dan raja-raja Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci (Holy War) untuk merebut Yerussalem dari tangan Muslimin. Itulah yang dimaksud dengan “Perang Salib” yang berlangsung selama dua abad dan penyerbuan delapan kali angkatan salib. Pasca Perang Salib inilah maraknya orientalisme.
Untuk mengetahui latar belakang sejarah timbulnya orientalisme di Barat yang mayoritasnya pemeluk agama Masehi, kita harus mengenal lebih dahulu sikap Barat terhadap Islam pada abad pertengahan dan era kebangkitan (Renaissance).
Sikap orang Barat terhadap Islam pada abad petengahan adalah sikap orang yang kagum bercampur perasaan hormat dan segan terhadap kekauatan Islam serta peradabannya. Perasaan takut menyelubungi mereka sepanjang abad pertengahan itu. Mereka menganggap Islam sebagai bahaya hakiki bagi Eropa, baik akidah, peradaban, serta kekuatan militer.
Sejak awal abad I Hijriah, kekuatan Islam benar-benar telah mencapai kesempurnaan dan menyeluruh, meliputi kekuatan politik, militer, pendidikan, kebudayaan, dan kerohanian. Keadaan itu masih terus berkembang hingga abad III Hijriah, umat Islam telah menaklukkan berbagai Negeri-Negeri tadi yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium Romawi pemeluk Masehi. Antara lain Syam (Syria), Mesir, Maghrib (Maroko), Spanyol, dan sebagian wilayah Prancis.
Penaklukan itu tidak hanya berupa penaklukan militer, tetapi meliputi pula penaklukan akidah dan peradaban. Hal ini terbukti dengan banyaknya kaum Masehi yang memeluk Islam, yang dirasakan kaum Masehi banyak kehilangan penganut berpindah memeluk agama Islam, khususnya di wilayah Imperium Romawi.
Bangsa Eropa menyaksikan perkembangan Islam ini, sementara mereka masih dalam keadaan bodoh dan terbelakang. Bahkan disebutkan oleh sejarawan Eropa, Gibbon: “masa itu merupakan masa yang paling buruk yang dialami bangsa Eropa sepanjang sejarahnya.”
Rasa takut terhadap Islam karena ketidaktahuan dan rasa dengki yang telah menyelimuti bangsa Eropa di abad pertengahan, sehingga terbentuklah gambaran yang tidak baik tentang Islam dalam benak mereka. Keadaan it terus berkesinambungan hingga dewasa ini. Bahkan penggambaran itu jauh lebih menyeramkan, dan dijadikan sebagai senjata kaum orientalis lebih memacu gerakannya, yang dibantu oleh media masa Barat hingga kini.
Gambaran yang salah ini sebagai tonggak awal munculnya gerakan orientalisme. Para orientalis bahu-membahu menyimpangkan bentuk Islam dari potret yang sebenarnya, baik langsung ataupun tidak. Hal ini digambarkan oleh seorang orientalis Montgomery Watt mengatakan: “Sesungguhnya ajaran akidah Islam terdiri atas bentuk penyimpangan dari ajaran Kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui perang. Agama Islam mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual. Dalam pribadi Muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlak (maksudnya dalam mengahadapi kaum wanita dimana beliau banyak menikahi kaum wanita). Berarti Muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Oleh karena itu, hendaklah dijadikan prinsip bahwa Muhammad merupakan senjata atau tangan kanannya setan. Bahkan bangsa Eropa pemeluk Masehi pada abad pertengahan menamakannya setan.”

C. Motivasi Orientalis Mengkaji Islam
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, latar belakang sejarahnya panjang dan kompleks.
1. Motif Keagamaan, Barat yang di satu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah makanya Islam dianggap sebagai “menabur angin” dan lalu “menuai badai” perseteruan dengan Kristen.
Perang Salib telah telah memberikan bekas kepahitan yang sangat mendalam pada orang-orang Eropa. Dari sini timbullah gerakan reformasi Kristen, sehingga umat Kristen merasakan suatu kebutuhan mendesak untuk melihat kembali mekihat penafsiran mereka terhadap al-Kitab; dan untuk memahaminya sesuai dengan perkembangan baru yamg dilancarkan oleh kaum reformis. Tujuan mereka (kaum orientalis) mempelajari Islam bukan untuk dijadikan pedoman hidup, melainkan untuk diketahui kelemahan-kelemahan yang nantinya diharapkan dijadikan dasar dalam rangka kegiatan kristenisasi.
2. Motivasi Imperial, Perang Salib berakhir dengan kekalahan beruntun angkatan-angkatan Salib yang sangat menyakitkan umat Kristen (tampaknya perang religi, namun hakikatnya adalah perang imperial). Walaupun berada di pihak yang kalah, justru orang-orang Barat berusaha keras untuk menguasai Negara-Negara Islam. Untuk itulah mereka lebih tekun mempelajari Islam dan umatnya, baik di bidang akidah, tradisi, akhlak, serta kekayaannya. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui titik-titik kekuatan untuk kemudian dilemahkan, serta titik-titik kelemahannya untuk dihancurkan.
3. Motivasi Ekonomi dan Perdagangan, diantara motivasi barat mengkaji Islam ( dunia Timur) adalah dalam rangka menerobos pasar perdagangan di dunia Timur. Mereka bekerjasama dengan dunia Timur untuk membuka pasar-pasar, menggali sumber-sumber alam, pertambangan, dan lain-lain. Mereka kemudian mendirikan pabrik-pabrik di wilayah Timur, tetapi belakangan mereka berusaha membunuh/mematikan kegiatan produksi dan lalu lintas perdagangan yang dikuasai oleh orang-orang Timur (Islam), sehingga lambat laun usaha-usaha yang dimiliki oleh orang-orang Timur mengalami kemunduran, dan sebaliknya milik orang-orang Barat (orientalis dan imperialis) yang mengalami kemajuan pesat.
4. Motivasi Politis, motiasi seperti ini semakin jelas warnanya di abad modern ini, terutama setelah mereka berhasil menguasai sebagian besar Negara-Negara Islam. Di setiap kedutaan (perwakilan diplomatik) Negara-Negara Barat di dunia Islam selalu terdapat atau ditempatkan pakar kebudayaan yang menguasai bahasa Arab, sehingga dengan mudah menghubungi para cendikiawan, politikus, dan para wartawan untuk lebih memahami pemahaman yang berkembang, selain untuk memperkanalkan dan menanamkan strategi politis yang dikehendaki dunia Barat.
5. Motivasi Ilmiah, peradaban Islam pernah mencapai puncak kemajuan di dua kota besar Islam, yaitu di Baghdad dan Andalusia, dari kedua kota besar inilah kemudian berpengaruh pada kota-kota di sekitarnya. Pada masa jaya-jayanya tersebut, banyaklah bangsa Eropa yang berduyun-duyun menuntut ilmu di sekolah Islam. Mereka melihat kemajuan dan perkembangan peradaban dunia Islam.
Persinggungan antara Eropa dan Timur yang memiliki berbagai macam kultur menarik perhatian orientalis untuk mengkajinya. Adat istiadat yang berbeda dengan dengan yang selama ini mereka kenal (bahasa, tradisi, kepercayaan, dan lain-lain), semakin menarik mereka untuk mengkajinya. Dari persinggungan ini akhirnya sampai kepada Islam yang pada gilirannya mengalami akulturasi dengan budaya setempat di samping budaya pendatang (Barat). Akulturasi ini sengaja dikehendaki Barat dalam kerangka untuk membunuh peradaban lokal (Islam), mengontrol kebudayaan lain serta membangun image bahwa Barat adalah satu-satunya contoh kemajuan peradaban.

Senin, 29 Maret 2010

Orientalisme: Pengertian, Perkembangan dan Polemik (6b)

Oleh:kelompok 1

Pendahuluan
Demam orientalisme mulai merebak sejak Edward Said menerbitkan bukunya tentang Orientalisme (1978). Semula mereka mengganggap kegiatan Barat yang bersembunyi di balik aktivitas akademik ini hanya sebatas cultural studies. Kesadaran bangsa Timur akan dominasi Barat mulai muncul. Aktivitas yang semula akademik ini dalam perkembangannya ternyata dicemari oleh kepentingan- kepentingan politik dan kekuasaan.
Buku orientalisme memberi pemahaman tentang usaha Barat yang menuliskan Timur dan Barat dengan cara yang berbeda. Yang “Timur” adalah sesuatu hakekat yang harus diteliti, dipahami, diungkapkan bahkan dibentuk oleh yang “Barat’. Timur adalah misteri dan kebarbaran yang harus dibuat beradab, dengan cara menjadi Barat. Barat adalah sumber kebenaran dan kedamaian. Di dalam kebenaran berhak untuk diikuti semua manusia. Mereka harus tunduk dan patuh tanpa reserve. Buku ini menyadarkan kita untuk cermat dan waspada terhadap berita, analisis maupun deskripsi ilmiah, fiksi maupun film tentang Timur dari pandangan “orang luar”. Kacamata itu memberikan kepada kita cara pandang untuk awas bahwa dalam banyak hal “berita Barat” tentang “Timur” mempunyai kecenderungan untuk menjadikan “Timur” sebagai yang dilainkan atau dihilangkan suaranya.
Pengertian Orientalisme
Longman Dictionary of english Language: “Orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur sebagai lawan kata occident yang berarti barat . Kata orient ini berubah menjadi istilah Orientalisme di dunia Eropa sebagai studi kajian tentang dunia Timur. Menurut Al Berry salah satu anggota gereja Yunani bahwa istilah orientalisme ini muncul pada tahun 1638 M. Kemudian pada tahun 1691 Antony Wood dan Samuel Clarke mengistilahkan orientalisme sebagai pengetahuan tentang ketimuran. Kemudian istilah ini mencul di Prancis Orienter pada tahun 1799, diikuti inggris menjadi Orientalism pada tahun 1838 Sehingga istilah orientalisme ini menjadi istilah yang mapan dan berkembang di Di dunia Barat-Eropa pada abad ke-18 M.
Secara terminology, orientalisme adalah suatu istilah yang artinya mengetahui segala yang berhubungan dengan bangsa Timur. Kata orientalisme ini digunakan bagi setiap cendikawan Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah keTimuran, baik di bidang bahasa, etika, peradaban, dan agamanya. Ilmuwan yang khusus mengkaji dunia Timur dalam istilah Barat disebut Orientalis.
Dalam definisi Edward Said tentang orientalisme memiliki beberapa fase definisi yang berbeda beda sesuai dengan perkembangan gerakan orientalisme itu sendiri.
1. Pada fase pertama orintalisme, Edward mendefinisikannya sebagai, "Suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.
2. Pada fase kedua Edward mendifinisikan oreintalisme sebagai "Suatu gaya berfikir yang berdasar pada perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara 'Timur' (the Orient) dan 'Barat' (the Occident)”.
3. Pada fase ketiga menurut Edward, oreintalisme adalah “suatu yang didefinisikan lebih historis dan material dari kedua arti yang telah di terangkan sebelumnya”.
4. Orientalisme adalah “pengetahuan mengenai dunia Timur yang menempatkan segala sesuatu yang besifat Timur dalam mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara, atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan, atau pemerintahan atasnya”.
Kalau dalam definisi yang dilakuakan oleh Edward W. Said Oriental masih dalam makna dunia Timur secara global, baik itu Timur jauh (the Far Orient) yang meliputi wilayah China, India, Jepang, Korea dan wilayah Asia Tengggara maupun wilayah Timur dekat (The near Orient) yang meliputi wilayah Irak, Iran, Syiria, Lebanon, Arab Saudi, atau yang mencakup seluruh wilayah Arab, belum di pertegas dengan dunia Timur (Islam). Maka Dr. Musthafa al Damiry memperjelas bahwa kajian orientalisme yang dimaksud adalah oriental Islam (dunia Timur Islam). Dalam bukunya beliau menulis, "Pemahaman dan definisi orientalisme itu adalah, kegiatan yang berlabelkan akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat kafir tentang Islam dan Umatnya dari seluruh aspek, baik yang berhubungan dengan akidah, syariah, budaya, peradaban, sejarah, undang-undang, dengan tujuan ingin mengaburkan (tasywih) makna-makna Islam yang benar, membuat keraguan serta menyesatkan Umat Islam."
Dari definisi-definisi di atas dapat kita fahami bahwa orientalisme dari maknanya yang sangat global kepada makna yang khusus, lalu mengkerucut menuju pemahaman Barat terhadap dunia Islam. Sehingga tidak heran pada perkembangan gerakan orientalisme selanjutnya terfokus pada acuan mendeskreditkan, menghina, menuduh Islam sebagai fundamentalis, teroris dsb, dengan memakai kedok akademis dan ilmiah. Bahkan menggunakan pemaksaan dan kekerasan dengan tujuan ingin menghancurkan sendi-sendi Islam agar peradaban Barat tetap eksis.
Perkembangan Orientalisme
Fase pertama, dimulai pada abad abad ke-16 M. Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa akar gerakan ini jika di telususri merupkan reaksi substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah menetang Kristen dan Yahudi, Al-Quran jelas sekali membeberkan kerancuan akidah dan pemikiran mereka. Selain itu kekalahan bangsa Eropa-Kristen dalam perang salib juga memicu semangat anti-Islam ini. Islam dalam pandangan orang Kristen merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Balfour dan Cromer secara khas mengemukakan beberapa istilah seperti orang Timur Irrasional, bejad Moral, kekanak-kanakan, "berbeda" jadi orang Eropa adalah Rasional, berbudi luhur, dewasa dan Normal. Bagi orang Eropa, Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya menulis bahwa "Orang Kristen berharap agar Timur dan Barat-Eropa bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (Misguided version Of Christianty) . Bahkan tidak sedikit yang menulis Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan sebagainya, yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya.
Fase kedua, orientalisme pada abad ke-17 dan ke-18 M. fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah Raja-Raja dan Ratu-Ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa nama seperti, Erpernius (1584-1624) menerbitkan pertama kali tata bahasa Arab, yang diikuti muridnya Jacob Goluis (1595-1667) dan oleh Lorriunuer Franz Meurnski dari Australia tahun 1680, selain itu Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah Nabi Muhammad.
Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi perseteruan tetap membara. Oleh karena itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur, mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada Masyarakat Barat. Pada periode ini Alexander Ross misalnya, menerbitkan buku-buku yang banyak menghujat Islam tanpa memilikidasar apa-apa. Ia menulis buku berjudul the prophet of turk and author of the al-Qoran. Dalam buku-bukunya ia sering kali mengunakan kata-kata kasar seperti the great arabian imposter, the litle horn in the danial, arabia swine, goliat, grand, hypocrite, great thief terhadap Al-Quran. Ia juga menuduh Nabi Muhammad seperti, corrupted pudlleof mohammets invention, mis-shapen issue of muhamets brain, atau a gallimaufry of error dan sebagainya. Pada tahun 1679 Humphey Predeaux menulis sejarah hidup Nabi Muhammad, tapi buku itu berusaha membuktikan asumsi bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pua, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik. Buku seperti ini dijadikan referensi standar oleh orientalis selama seabad lebih. Singkat kata, jika pada fase pertama diwarnai oleh semangat anti Islam, maka priode ini adalah priode caci maki orientalis terhadap Islam dalam bentuk tulisan.
Fase ketiga oreantalisme adalah abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase terpenting bagi orentalisme dan umat Islam sendiri. Sebab pada fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karyanya dalam banyak bidang studi Islam. Tidak sedikit pula dari karya-karya berbahasa arab dan persia diedit, diterjemahkan dan diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negri-negri Islam sehingga dengan mudah mereka mendapatkan bahan-bahan tentang Islam. Oleh sebab itu pada waktu yang hampir berasamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan dimana-mana. Tahun 1822 diparis didrikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic of Great Bretain dan Ireland didirikan tahun 1823 di inggris. Tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Socaity. Tahun 1916 di Universitas London didirkan School of Oriental Studies sekarang jadi SOAS (School of Orintal and African Studies). Diantara tokoh orientalis yang terkenal pada masa ini adalah Goldziher(1850-1908). Dengan berdirinya pusat-pusat studi keislaman tersebut, framework kajian orientalis mengalami pergeseran yang signifikan dari fase caci maki menjadi serangan sistematis dan ilmiah. Namun demikian serangan sistematis dan ilmiah itu tidak berarti tanpa kesalahan dan bias. para oreantalis di abad pertengahan memang memiliki informasi yang kurang valid tentang nabi muhammad, sehingga tulisan mereka bernada negatif. Namun para orientalis di zaman modern yang dianggap telah memiliki pengetahuan Islam yang relatif lebih banyak, masih saja bersikap negatif dengan cara yang lebih akademis. Yang jelas mereka tidak mengekspos misi yang dibawa Nabi, dan menjelaskan nilai-nilai universal Islam yang disumbangkan kepada dunia.
Fase keempat orientalisme ditandai dengan perang dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian populer. Kajian itu bukan saja dilalakukan untuk kepentingan akademis, tetapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan bisnis. Namun pada fase ini kajian orientalis berubah dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith terang terangan mengatakan "Pencarian ilmu selalu siap mengubah hipotesanya . Faktanya memang orang-orang Barat non muslim baru saja memperlembut sikapnya terhadap Islam dan bahakan menarik kata tidaknya" (lihat on understanding Islam-selected studies,the hague, 1981, 296). Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan, ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu. (Pre-Islam monotheism in arabia, harvard thelogical review, 55, 1962, 269). Perubahan sikapnya begitu kentara berubah dari menuduh nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpretasinya. Methode serta framework yang dipakai Barat dalam mengakaji dunia Islam senantiasa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi perkembangan zaman, perbedaan tempat dan waktu, serta daya berfikir rasional manusia. Label akademis, Ilmiah dan obyektifitas merupakan senjata utama dalam memutarbalikan fakta sehingga terkesan obyektif dan ilmiah. Padahal dalam obyektifitasnya itu tersimpan banyak pertanyaan-pertanyaan yang justru tidak menunjukkan sikap ilmiah dan obyektif. Hal itu terlihat mislanya dalam kajian mereka tengatang Al-Quran yang menggunakan metode kritik Bible (Bible Criticsm). Mereka mengklaim penggunaan metodologi kritik Bible sebagai metode Ilmiah.
Dalam kajian teologi Islam kalangan orientalis menggunakan tiga pendekatan dan metode pertama, filologi, yang meliputi penelitian nilai naskah (textual criticms), penelitian bentuk karya Tulis (Form criticisn), dan penelitian terhadap sumber karya (source criticism). Kedua, menggunakan metode kritik sejarah (Historical Criticism). Pendekatan ini bertujuan memilih berita, cerita atau laporan mana yang benar dan mana yang palsu, membedakan antara sejarah dan legenda, antara fiksi dan fakta, antara mitos dan realitas, memilah “antara konon terjadi” dan “yang sebenarnya terjadi”, berkenaan dengan riwayat hidup atau karir seorang tokoh atau mengenai karya yang disandarkan kepadanya. Ketiga, melalui pendekatan filsafat, lebih menekankan pada aspek kesinambungan pendekatan tentang berbagai tema dalam konteks sejarah pemikiran manusia (history of ideas). Yang diperhatikan dalam pendekatan ini ialah isi dan sistem pemikiran seorang tokoh serta sumbangannya dalam bidang yang digelutinya. Seperti pandangan teologi manusia Barat sebelum abad modern masih dalam tahap animisme dan pandangan Aristotel, teologi metafisika. Kemudian pada abad modern membuka jalan bagi filsafat sekularis dan mekanika. Membuktikan eksistensi Tuhan dengan berdasarkan pada ide tantang wujud sempurna dalam pikirannya. Descartes, Kepler, Galileo, Boyle, dan para filosof mekanika lainnya membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder untuk mencopot animisme dari Alam. Yang pada gilirannya menjadikan teologi hanya hal yang skunder, atau hanya sebuah perasaan atau sesuatu yang muncul dari pikiran manusia (Human mind). Seprti halnya, warna, kekerasan, rangangan dan rasa pahit. Dengan berkembangnya pemikiran teology modern ini, orang Barat sampai kepada tahap pertanyaan, “apakah Tuhan itu ada atau tidak?” Perkembangan sains modren ini mempengaruhi wilayah teology dan agama, dan pada saat itulah pandangan hidup orang Barat berubah secara fundamental, yang disebut sebagai akal modoren (modern mind). Pada abad post-modernisme pandangan teologi Barat berubah menjadi apa yang disebut dengan teologi post-modernisme. Pada abad ini munculnya eksistensialisme (pemehaman tentang kewujudan) dan filsafat analitik yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan. Dan pemahaman ini hasil dari pikiran Pos-Modernisme (post-Modern mind). Munculnya pemahaman post-modernisme ini bukan saja menghapuskan realitas serta metafisika yang objektif dengan sistem baru, tapi juga meremehkan serta mengsampingkan doktrin agama yang berdasarkan pada metafisika. Dimana agama pada abad post-modernisme didekati dengan pemikiran yang bersifat ateistik, (tidak adanya sebuah agama) atau sebuah penggugatan terhadap agama, pandangan ini tercermin dari pandangan mereka tentang nilai (value). Dimana sebuah nilai menurut mereka adalah suatu yang absolut, artinya, nilai adalah suatu yang harus diikuti oleh agama dan masyarakat. Agama tidak lagi dijadikan sebagai satandar nilai dalam kehidupan manusia. Karena itu dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme (tidak adanya sebuah nilai) adalah devaluasi nilai tertinggi yang membawa kepada kesimpulan doktrin “Kematian Tuhan”. Artinya standar nilai untuk menilai sesuatu tidak lagi berdasarkan kepada sesuatu yang metafisis, realistis, relijus ataupun yang mengandung ketuhanan.
Kemudian pada era globalisasi pandangan Barat tentang ketuhanan bergeser kepada paham globalisme agama, yang di pelopori oleh Jhon Hick. Dimana manusia ahrus mengubah (revise) atau merombak (deconstruct) pemikiran-pemikian dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama denga semangat Zaman, dan nilai-nilai yang diyakini “universal”.... Teori baru yang sangat krusial dewasa ini dikenal dengan “Pluralisme Agama”. Dalam kajian mereka tentang Hadist, orientalis Barat memulainya dengan meragukan kejujuran (tsiqoh) para sahabat, kemudian Isnad, Rawi dan matan dari Hadist tersebut. Sehingga dengan gaya kritik yang dipakainya memungkinkan mereka meregukan kesohihan hadis-hadis Bukhari dan Muslim. Inilah gaya orientalis Barat dalam mengakji Islam yang sebagian intelektual Muslim kadang tidak menyadari hal itu sehingga tidak sedikit di antara mereka yang amat apreseatif terhadap kajian Islam para orientalis ini, dan kemudian mengadopsinya untuk kajian Islam. Malah akhir-akhir ini, kritik-kritik para orientalis yang tendensius dan bias itu disuguhkan kepada umat Islam, dengan maksud agar umat Islam berfikir kritis. Tapi anehnya, justru para cendikiawan itu sendiri tidak kritis terhadap kritik para orientalis. Tidak sedikit yang Mengamini dan bertaqlid buta terhadap kritikan orientalis dan berbalik mengkritik Islam dengan menggunakan bahasa dan metode orientalis. Padahal sikap ilmiah orientalis yang konon obyektif itu menyisakan banyak pertanyaan-pertanyaan dan menyuguhkan pendekatan yang penuh bias. Kajian edward Said yag tidak kalah ilmiahnya menggabarkan dan menyimpulakan bahwa "Apa saja yang dikatakan oleh orang-orang Eropa tentang Timur tetap saja Rasial, Imperialis dan Etnocentris. Sebab dalam karya-karya Barat tentang Timur, Barat Memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi.
Polemik Orientalisme
Sejarah orientalisme pada masa-masa pertama adalah pertarungan antara dunia barat nasrani abad pertengahan dengan dunia timur Islam, baik dalam keagamaan maupun ideologi. Islam menurut R. W. Southern merupakan problema masa depan dunia barat Nasrani secra keseluruhan di Eropa . Gerakan orientalisme tumbuh pesat di dunia barat, pasca perang salib. Orientalisme adalah satu bentuk invasi intelektual yang bermuara dar sebab-sebab keagamaan. Dunia barat yang terdiri dari Ahlul bait (Nasrani dan Yahudi), setelah masa reformasi keagamaan, membutuhkan pandangan ulang terhadap ajaran dan kitab-kitab keagamaan mereka. Untuk itu mereka mulai mengadakan studi tentang bahasa arab dan Islam. Mereka memanfaatkan apa saja dari karya-karya muslim.dari kajian tentang Islam, orientalisme kemudian berkembang menjadi kajian-kajian tentang kondisi ekonomi, politik, dll, dengan tetap berpegang pada prinsip utama dan sebagai prolog kristenisasi dengan tujaun-tujaunnya. Pada umumnya usaha mereka untuk merapuhkan nilai-nilai Islam, mengingkari kenyataan sejarah, kebudayaan dan etika Islam. Kesemuannya mereka selubungi dengan “ penelitian ilmiah” dan terhindar dari “sikap fanatik”, namun kenyataannya, penelitian-penelitian yang dilakukan jauh dari unsur-unsur kejujuran dan ilmiah. Dimanakah letak ilmiah dan kebenaran dari hasil kajian mereka yang menyimpulkan hal-hal berikut:
1. Al-Quran adalah kitab Nasrani yang disalin oleh Muhammad SAW.
2. Islam adalah agama yang hanya mementingkan materi, bukan sebagai agama rohani, karena Islam hanya menyeru kepada hidup keduniawian bukan menyeru kepada kejernihan jiwa dan rasa cinta.
3. Islam condong kepada permusuhan dan pengrusakan. Pemeluk Islam bersikap kasar terhadap orang selain Islam.
4. Bahasa Arab Fushah sekarang ini sudah tidak relevan lagi, oleh karena itu harus diganti dengan bahasa arab pasaran.
Setelah kita membahas panjang lebar tentang orientalisme, cukup sudah tergambar dalam pikiran kita betapa sesungguhnya kaum orientalis telah begitu jauh menelusuri dan mengkaji serta meneliti terjadap Islam, al-Qur’an dan bahkan pribadi Nabi Muhammad SAW. mereka telah memusatkan aktifitasnya pada pembahasan tentang kita kaum muslimin. Bahkan dalam beberapa hal usaha mereka telah melampaui usaha kita dalam mengkaji masalah-masalah Islam. Oleh karena itu kita sebagai umat Islam harus bersatu padu dalam memerangi serangan kaum orientalis, menjaga keimanan dan menambah wawasan tentang keislaman.

ORIENTALISME: Pengantar, Perkembangan, dan Polemik

Oleh: Pipit Aidul Fitri, M. Munawwar, Suryadi, Zaenal M,Ratnawati. (Kel.1/TH/VI/A)

PENGERTIAN
Menurut Longman Dictionary of English Language: “Orientalisme barasal dari kata orient yang berarti timur, sebagai lawan dari occident yang berarti barat”. Dengan demikian, orientalisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan ketimuran, dan secara khusus orientalis adalah scholarship or learning in oriental subject, kesarjanaan atau pengkajian dalam bidang-bidang kajian ketimuran.
H.M. Joesoef Sou’yb “orientalisme yang secara harfiyah berarti timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di timur. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnnya”. Suku kata isme (belanda) atau ism (inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme berarti suatu faham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengn bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.
Menurut Ali Husni al-Kharbaouly: kata orientalisme diambil dari akar kata Syarq (timur) yang artinya tempat terbitnya matahari, jadi kata orientalisme adalah ilmu tentang timur atau Ilmu pengetahuan tentang dunia timur.
Menurut pfof. Tk. H. Ismail Jakub, S.H, M.A. “orientalisme terdiri atas perkataan oriental dan isme. Oriental artinya bersifat timur dan isme artinya kata penyambung yang menunjukkan sesuatu faham, ajaran, cita-cita, cara, system, atau sikap. Maka orientalisme dapat diartikan ajaran dan faham yang bersifat timur tegasnya tentang soal-soal timur.
Menurut A. Muin Umar orientalis berasa dari kata orient dan isme, orient artinya timur dan isme artinya faham. Di dalam orientalisnme apabila kita menyebut orien artinya semua wilayah yang terbentang dari timur dekat sampai ke timur jauh dan juga Negara-negara yang berbeda yang berada dui daerah afrika utara dan tengah.
Menurut Abdul Haq Adnan Adivar orientalis adalah suatu pengertian yang lengkap dimana dikumpulkan pengetahuan yang berasal dari sumbernya yang asli yang berkenaan dengan bahassa, agma, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi,etnografi, kesusastraan, dan kesenian yang berada di timur.
Menurut Abdul Muni’m Moh Hasanain orientaisme dalam bahasa arab adalah al-Istisraq, masdar dari fiil istasyarqa arinya mengarah ke timur dan memakai pakaian masyarakatnya.
Menurut A Hanafi, orientalisme barasal dari kata-kata prancis, orient yang berarti timu, kata tersebut berarti ilmu yang berhubungan dengan dunia timur. Orang-orang yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu tersebut orientalis atau ahli ketimuran.
Menurut Edward W. Said, orientalisme ialah suatu cara untuk memahami Dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Definisi ini merupakan definisi awal yang diberikan Edward Said, dimana ia akan memberikan beberapa definisi lain sesuai dengan konteks dan perkembangannya.
Selanjutnya Edward Said memberikan definisi lain terhadap orientalisme dalam arti yang lebih umum, yakni orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (the Orient) dan (hampir selalu) Barat (the Ocident).
Orientalisme ialah sesuatu yang didefinisikan secara lebih historis dan material daripada kedua arti yang telah diberikan sebelumnya. Definisi ketiga Edward Said ini menunjukan pergeseran konteks orientalisme, karena pada akhir abad kedelapan belas telah terjadi arus lalu lintas yang besar, yang cukup teratur.


PERKEMBANGAN ORIENTALISME
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, perkembangan orientalisme dapat dibagi kedalam empat fase.
Fase pertama dimulai pada abad keenam belas. Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai symbol gerakan anti islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen, dimana Perang Salib menjadi titik pangkalnya.
Fase kedua orientalisme terjadi pada abad ketujuh belas dan delapan belas. Fase ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepaentingan menimba ilmu bagaimana Islam bias menjadi peradaban yang handal selama tujuh abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-ratu Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran.
Fase ketiga orientalisme adalah abad kesembilan belas dan seperempat pertama abad kedua puluh. Fase ini adalah fase orientalisme terpenting bagi Muslim maupun orientalisme sendiri. Sebab pada fase ini Barat menguasai Islam secara politis, militer, cultural dan ekonomi. Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karya dalam bidang studi islam.
Fase keempat orientalisme ditandai dengan adanya Perang Dunia II. Khusus di Amerika, Islam dan ummat islam menjadi objek kajian islam yang popular. Kajian itu bukan saja dilakukuan untuk kajian akademis, tapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan bisnis.
Pada mulanya, Barat—selanjutnya disebut dengan orientalis dalam pembahasan ini—memandang Timur—yang selanjutnya disebut orientalisme—sebagai tempat koloni-koloni yang terbesar, terkaya dan tertua, sumber peradaban dan bahasa, saingan budaya dan dunia yang lain. Implikasi dari hal ini, Timur telah membantu mendefinisikan Barat sebagai imajai, idea, kepribadian dan pengalaman yang berlawanan dengannya.
Pasca Renaissans, orientalis mampu mengatur—bahkan menciptakan—orientalisme secara politis, sosiologis, militer, idiologis, saintifik dan imajinatif. Ini semua tentu didasari dengan kerangka metodologis yang tepat dan telah diperhitungkan.
Orientalisme bersumber dari kedekatan khusus yang dialami oleh Inggris dan Prancis dengan dunia Timur, yang sebelum awal abad kesembilan belas hanya meliputi India dan negara-negara jajahan Barat lainnya. Semenjak awal abad kesembilan belas hingga akhir Perang Dunia II, Inggris dan prancis mendominasi Timur dan orientalisme. Sesudah akhir Perang Dunia II, dominasi diambil alih oleh Amerika yang melakukan pendekatan terhadap dunia Timur sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Inggris dan Prancis dahulu.


POLEMIK
Orientalisme tidak bisa bertahan hidup dengan keadaan seperti dahulunya, namun ia terus hidup secara akademis melalui doktrin-doktrin dan tesis-tesisnya tentang dunia Timur dan ketimuran.
Karena orientalisme, dunia Timur dahulu (dan juga sekarang) bukan objek pemikiran atau tindakan yang bebas. Ini tidak berarti bahwa orientalisme secara sepihak menentukan apa yang dapat dikatakan tentang dunia Timur, tetapi ia berarti bahwa orientalisme merupakan keseluruhan jaringan kepentingan-kepentingan yang secara tak terhindarkan dikaitkan dengan entitas dunia Timur yang menjadi pokok perbincangan. Implikasi dari hal tersebut, budaya Barat memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyandarkan dirinya kepada dunia Timur sebagai diri yang tersembunyi.
Dunia Timur pada dasarnya hanyalah suatu ide, atau sebuah produk pemikiran khayali yang tak memiliki realita. Disraeli (seorang orientalis) menyatakan dalam novelnya Tranced bahwa Timur adalah sebuah karir yang hebat. Maksud pernyataan ini perlu ditafsirkan secara tepat. Apakah yang dimaksud Disraeli itu ungkapan yang terkenal dengan 3G (Gold, Gloly, Gospel) dengan mengacu kepada aspek sejarah, atau ide-ide tentang dunia Timur tanpa memandang ada atau tidak adanya kesesuaian dengan dunia Timur yang sebenarnya.
Meyakini bahwa Timur adalah diciptakan dan meyakini bahwa hal-hal seperti itu semata-mata terjadi karena kebutuhan imajinasi adalah sikap yang tidak jujur. Hubungan Barat dan Timur adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks.
Orientalisme tidak lebih daripada struktur kebohongan-kebohongan yang sengaja diciptakan. Orientalisme lebih bermanfaat sebagai suatu tanda kekuasaan dunia Barat atas dunia Timur daripada sebagai wacana murni mengenai Timur. Kekuatan wacana orientalisme sangat terpadu, kaitannya sangat erat dengan pranata-pranata sosial, ekonomi dan politik. Karenanya, orientalisme bukanlam fantasai kosong dunia barat terhadap Dunia Timur, melainkan suatu sosok teori dan praktek yang sengaja diciptakan.
Orientalisme tidak pernah jauh dari apa yang dinamakan Denys hay sebagai gagasan Eropa, suatu pikiran kolektif yang mengidentifikasikan “kita” orang-orang Eropa sebagai yang berbeda dari “mereka” orang-orang non-Eropa, dan sungguh kita dapat berargumentasi bahwa unsur utama dalam budaya Eropa persisnya adalah apa yang menjadikan budaya tersebut berkuasa baik di Eropa maupun diluar Eropa: gagasan identitas Eropa sebagai identitas yang lebih unggul dibandingkan dengan semua bangsa dan budaya non-Eropa. Sebagai tambahan, terdapat hegemoni gagasan Eropa mengenai dunia Timur yang mengulangi pernyataan mengenai keunggulan Eropa atas keterbelakangan Timur, yang pada umumnya penutup peluang adanya pandangan-pandangan yang berbeda mengenai masalah ini dari para pemikir yang lebih independen atau lebih skeptis.


REFERENSI
Buchari, A. Mannan, Menyingkap Tabir Orientalisme, Jakarta: Amzah, 2006.
Said, Edward W., Orientalisme, Bandung: Pustaka, 1985.
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Mengkritisi Kajian Islam Orientalisme, Jakarta: INSIST, 2006.

Kajian Orientalis terhadap al-Qur'an dan Hadis

Kajian ini didedikasikan untuk matakuliah kajian al-Qur'an dan Hadis